JAKARTA-Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyiapkan anggaran sebesar Rp 30 hingga Rp 35 triliun untuk membayar insentif selisih harga indeks pasar antara biodiesel dan solar. Anggaran ini disiapkan karena biodiesel didistribusikan kepada badan usaha dengan harga solar.
Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman menjelaskan bahwa BPDPKS bertugas membayar selisih harga indeks pasar solar dengan harga indeks pasar biodiesel. Artinya, ketika harga biodiesel lebih tinggi dibandingkan harga solar, BPDPKS akan menanggung selisih harga tersebut.
“Karena badan usaha BBM itu diwajibkan menyalurkan biodiesel. Pertamina misalnya, itu seharga solar. Jadi, kalau harga biodiesel lebih tinggi dari solar, maka ditanggung BPDPKS,” ungkap dia dalam acara peluncuran B35 ‘Energy Corner Special B35 Implementation’ CNBC Indonesia, Selasa (31/1/2023) seperti dikutip dari cnbcindonesia.com.
Adapun Eddy memperkirakan bahwa selisih harga antara solar dan biodiesel tidak terlampau besar pada 2023. Pasalnya tren penurunan harga biodiesel terjadi sejak pertengahan 2022.
“Saya kira memang pada 2023 ini mungkin tidak terlampau terjadi fluktuasi harga begitu tinggi. Kita proyeksikan di 2023 nanti dengan penyaluran kurang lebih 13,15 juta KL tadi itu, anggaran dana yang diperlukan itu Rp 30-31 triliun, dan itu telah diputuskan BPDPKS telah mengalokasikan dana tersebut untuk membayar kewajiban selisih harga itu,” lanjut Eddy.
Program biodiesel B35 banyak manfaatnya, mulai dari penciptakan lapangan kerja baru, penurunan efek gas rumah kaca, hingga devisa.
Namun tujuan awal dari program mandatory ini sebenarnya yakni untuk menstabilisasi harga minyak sawit. “Tujuan utama pada awalnya menstabilisasi harga minyak sawit, yang tujuan sampingannya menghemat devisa, dan kaitannya dengan gas rumah kaca, penerimaan negara, penyerapan tenaga kerja, hanya tujuan lain daripada itu,” jelasnya.
Pada waktu itu stabilisasi harga ujarnya sangat perlu dilakukan, karena produksi sawit meningkat dari waktu ke waktu. Jika program tersebut tidak dilakukan dan produksi sawit tidak terserap, dikhawatirkan dapat mempengaruhi penerimaan petani.
“Karena itu pemerintah sejak 2015 di mandatory untuk pencampuran biodisel ke minyak solar. Ini pengaruh sangat besar karna kalau kita lihat bahwa tren daripada perkembangan produksi biodisel dari tahun ke tahun sejak 2015 meningkat, tahun 2022 itu kurang lebih 10,4 juta KL yang terserap,” tambahnya.
Seperti diketahui, Biodiesel B35 sendiri merupakan campuran biodiesel antara bahan bakar nabati (BBN) berbasis minyak kelapa sawit dengan BBM diesel. Lewat B35 ini, pemerintah meningkatkan persentase pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) ke dalam Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis minyak solar dari 30% (B30) menjadi 35% (B35). Red