BANDUNG-Komoditas kelapa sawit Indonesia hingga kini masih menjadi bulan-bulanan kampanye negatif Uni Eropa, salah satunya lewat undang-undang Uni Eropa tentang Deforestasi (EU-DR) yang telah menimbulkan reaksi dari berbagai komponen kelapa sawit di dalam negeri.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mengakui ekspor di Uni Eropa belakangan terus menurun. Tahun 2017, ekspor komoditas sawit ke Uni Eropa mencapai 5,5 juta ton, turun menjadi 4,9 ton di 2020, dan turun lagi jadi 4,1 juta ton di tahun 2022.
Ata kondisi itu, diperlukan strategi untuk mengatasinya. “Strategi mengatasinya kita sudah lakukan bersama pemerintah dengan membuka pasar baru. Kita ke China diundang, yang mengundang Ketua Kadin China khusus untuk impor minyak nabati,” kata Eddy saat Workshop Wartawan GAPKI di Bandung, Rabu (23/8).
Dikutip dari situs berita kumparan bahwa dari data ekspor sawit ke China yang terus meningkat. Tahun 2017 ekspor komoditas sawit ke China mencapai 4,6 juta ton, naik menjadi 6,1 juta ton di 2020, dan naik lagi jadi 6,3 juta ton di 2022. Bahkan di 2019 ekspor sawit Indonesia ke China tembus 8,1 juta ton.
“Mereka justru minta dinaikkan lagi, dan kita enggak masalah. Kalau perlu kita tingkatkan 8 juta,” kata Eddy.
Tujuan pasar ekspor lainnya adalah Rusia. Eddy mengatakan, kendala ekspor ke Rusia adalah Letter of Credit (L/C). Selain jadi importir, China bahkan berkenan membantu Indonesia mengatasi kendala tersebut. “Bank China datang, ya sudah yang ekspor ke Rusia pakai L/C (Bank) China,” sambung Eddy.
Ditambah ada negara di Afrika yang kini dikuasai oleh sawit Malaysia, namun GAPKI berharap sawit Indonesia bisa menembus pasar Afrika. Dengan begitu, Eddy optimis hilangnya pasar Uni Eropa tidak akan mengganggu kinerja ekspor Indonesia.
“Rencana membuka pasar GAPKI dan pemerintah ke Asia Tengah ke Uzbekistan, termasuk kita lakukan untuk penetrasi pasar baru di sana,” pungkasnya.