Untuk itu, kami APKASINDO memberikan catatan penting untuk perjalanan sawit Indonesia di 2023 dengan bercermin ke tahun-tahun sebelumnya.
Pertama, Menyiasati sumber pokok terjadinya penurunan produksi CPO terkhusus produktivitas perkebunan sawit rakyat adalah hal yang sangat penting. Sempat melonjaknya harga pupuk sampai 300% adalah pokok utama, sehingga petani praktis hanya 20% yang memupuk periode Juni-Desember 2022. Namun sejak akhir Desember tahun lalu harga pupuk berangsur turun, sehingga kenaikan pupuk bulan Januari ini tercatat dikisaran 125-150%.
Untuk itu perlu diberlakukan HET pupuk dan dalam hal ini Pupuk BUMN harus menjadi andalannya. “Untuk apa keuntungan Pupuk Indonesia (BUMN) naik tajam dan recor sepanjang sejarah Indonesia di tahun 2022 sebesar Rp19 Triliun, tapi disaat yang bersamaan terjadi penurunan pemasukan negara (devisa) dan pajak minyak sawit yang jauh lebih besar, belum lagi dampak ganda lainnya terhadap petani dan ekonomi Indonesia.
Atau bagaimana dengan dana Sarpras BPDPKS (yang 99% masih belum pernah digunakan untuk pupuk), jika digunakan untuk membeli pupuk ke BUMN lalu dijual ke petani sawit dengan harga HET ?.
Kedua, PSR dan Konsistensi Regulasi. PSR (peremajaan sawit rakyat) adalah upaya jitu untuk menggenjot produksi CPO pasaca diberlakukannya moratorium dan lahirnya UUCK, terkhusus dari kebun rakyat. PSR itu roh nya adalah intensifikasi (meningkatkan produktivitas tanpa menambah luas lahan). Produktivitas kebun sawit rakyat masih jauh dari idealnya, hanya berkisar 12 ton TBS/ha/tahun dengan produksi CPO rerata 2,52/ha/tahun. Dengan menggunakan bibit unggul (hybrid) maka Produksi TBS berpotensi mencapai idealnya 36 ton TBS/ha/tahun dengan rendemen 8,64 ton CPO/ha/tahun. Tentu untuk mencapai produktivitas kebun rakyat ini hanya bisa dicapai dengan replanting (PSR).
Melihat kinerja capaian PSR Program Strategis Presiden Jokowi, dari tahun ke tahun yang selalu menurun dan puncaknya adalah tahun 2022 lalu yang hanya mencapai 9,8% dari target 180.000 hektar, membuat semua entitas sawit terkejut dan UE pun bergembira. Padahal semua istilah sudah dipakai untuk mencapai target. Dari mulai percepatan PSR-lah, pemberdayaan kebun sawit rakyat-lah, GAP-lah, sosialisasi PSR-lah dan lain-lain sebagainya. Istilah yang belum digunakan tinggal Turbolisasi PSR.
Apapun istilah yang dipakai tidak akan berpengaruh ke capaian target sepanjang regulasi yang mengatur persyaratan PSR tersebut tidak masuk akal untuk kalangan dan level kami petani sawit.
Lihat saja permasalahan yang dominan berada di Kementerian Kehutanan dan Kementerian ATR BPN yang diakumulasikan melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan). Semua Kementerian ini berpartisipasi membuat “palang” untuk capaian target PSR sebagaimana yang sudah digariskan oleh Presiden Jokowi sejak 2016.
Sejak Permentan 03 tahun 2022 lahir (Februari), sudah diperkirakan akan terjadi perlambatan PSR, terkhusus dimasukkannya bebas gambut sebagai persyaratan dan akhirnya menuai protes luar biasa petani sawit. Dan untungnya Kementerian Pertanian sudah merespon protes petani perihal aturan bebas gambut tersebut meskipun KLHK merasa tidak pernah mengusulkan perihal gambut tersebut masuk peryaratan PSR.
Selesai hambatan satu, muncul lagi hambatan baru. Akhir tahun 2022 lalu, muncul lagi Surat Edaran dari Kementerian ATR BPN Nomor 396/SE.300.UK/X/2022, tentang Permohonan dukungan fasilitasi dalam rangka program PSR. Judul Perihal Surat Edaran tersebut adalah sangat manis “dukungan” tapi malah memperumit. “Dengan mewajibkan kebun petani terdaftar dahulu di sistem ATR/BPN untuk mendapatkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT), baru permohonan petani diproses Kementerian ATR/BPN. Administrasi permohonan ini dipastikan memakan waktu cukup lama dan biaya tambahan yang harus dikeluarkan oleh petani calon peserta PSR untuk kembali mengambil kordinat lokasi kebun.
Harusnya persyaratan SKPT ini dipisahkan dari persyaratan PSR, ini bisa disusul kemudian, yang penting tidak tumpang tindih dengan HGU atau perizinan lainnya yang pernah diterbitkan ATR BPN.
Ketiga, menilik capaian penyelesaian klaim sawit dalam Kawasan hutan melalui Pasal 110A dan 110B (UUCK). “Dari SK KLHK Tahap I-IX, menurut rekapitulasi DPP APKASINDO (2023), diketahui bahwa totalnya sudah mencapai 1,8 juta ha dari total klaim sawit dalam Kawasan hutan seluas 3,4 juta ha”. Artinya yang 3,4 juta ha ini harus di clearkan sampai Nopember 2023 sesuai batas waktu yang ditetapkan oleh KLHK.
Faktanya menurut rekap kami, dari 1,8 juta ha tersebut ternyata didominasi oleh korporasi sawit seluas 1,2 juta ha (65,64%), BUMN Sawit 147 ribu ha (7,94%) dan petani sawit hanya 281 ribu ha (15,17%). Kami tidak mempermasalahkan tingginya capaian korporasi dalam gerbong UUCK ini, karena memang hal itu wajar dengan kemampuan manajemen perusahaan tersebut (tim legal). Tapi bagaimana dengan kami petani sawit, siapa yang menolong kami ?.
Menilik berbagai sumber data bahwa dari 3,4 juta ha sawit dalam Kawasan hutan tersebut, korporasi hanya 36% (1,224 juta ha). Artinya apa ? bahwa lahan sawit korporasi sudah selamat melalui gerbong UUCK. Sedangkan petani sawit masih tersisa (belum masuk gerbong) seluas 1,8 juta ha lagi dan batas waktu ultimum remedium akan berakhir Nopember 2023. Jika tidak tuntas apa yang terjadi?.
Capaian PSR juga dipengaruhi oleh semakin intensnya APH (apparat penegak hukum) melakukan pemeriksaan pelaksanaan PSR meskipun BPK atau konsultan yang ditunjuk oleh BPDPKS untuk mengaudit PSR sudah mengatakan clear. Dari 22 Provinsi APKASINDO, beberapa provinsi tersebut kami sudah berkordinasi dengan baik ke APH untuk menjelaskan maksud dan tujuan program strategis nasional Pak Jokowi tersebut dan menjelaskan bahwa dana PSR tersebut bukan berasal dari APBN, tapi dari dana sawit untuk sawit yang dipungut, Kelola dan disalurkan oleh BPDPKS. Alhamdulillah sudah jauh berkurang.
Namun yang masih memprihatinkan adalah salah satu koperasi peserta PSR yang sudah di BAP oleh APH sampai dua tahun tidak berkesudahan, ini terjadi di Kejati Aceh”. Jika memang salah, segera di TSK kan, namun jika tidak ditemukan pelanggaran yang cukup tidak berarti sebaiknya di clearkan. “Jika dicari-cari kesalahan tentu pasti ada karena keterbatasan kami petani sawit. Tetapi jika cukup tidak berarti temuan tersebut, sebaiknya dicarikan solusinya. Karena PSR ini bersifat affirmative action. Informasi yang kami dapat semua rekening petani diblokir terkhusus rekening penerima dana dari BPDPKS ”yang berakibat koperasi tersebut tidak dapat melakukan perawatan kebun PSR sebagaimana dalam rencana kerja PSR yang sudah disetujui oleh Kementan dan BPDPKS saat pengusulan”. Dan ribuan hektar rencana usulan baru koperasi tersebut untuk PSR menjadi bubara, karena ketakutan.
Hal ini sangat mengganggu kinerja serapan target PSR secara nasional, karena para petani sawit yang berniat dan semangat ikut program Pak Jokowi melalui PSR, menjadi hilang “nyali”. Dan ternyata hal yang sama juga dialami oleh perangkat pemerintah (birokrat) yang terkait langsung dengan PSR ini menjadi terganggu konsentrasinya, karena hampir sama dengan yang dialami petani sawit.