JAKARTA – Perjalanan Panjang industri sawit telah membuat Indonesia menjadi negara yang sangat ditakuti dan disegani dari segi ketersediaan sumber bahan energi dan pangan. Hal ini teruji ketika larangan ekspor diberlakukan hampir semua negara “pembutuh” minyak sawit melakukan lobi-lobi dibelakang layar.
Kepanikan dari negara-negara eropa dan dunia terlihat dari pasar modern yang kosong bahan makanan berbahan dasar sawit, demikian juga industri kimia, obat-obatan dan indusri biofuel. Semua melakukan lobi untuk penimbunan produk yang bahan dasarnya sawit. Khawatir larangan ekspor akan berkepanjangan. Ini merupakan cerminan singkat betapa pentingnya minyak sawit bagi dunia.
Tolak ukur dari perjalanan industri sawit Indonesia yang selalu dinanti-nanti pasar global yaitu acara Pers Conference GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) yang dilaksanakan hari Rabu lalu (25/1). Acara ini sontak membuat seakan indutri minyak nabati dunia terhenti sejenak untuk fokus menyimak paparan Ketua Umum GAPKI.
Pada acara tersebut, Narasumber tunggal adalah Ketua Umum GAPKI, Joko Supriyono dan selanjutnya seremony sambutan dari Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga. Pada kesempatan tersebut juga ditampilkan Ketua-Ketua Asosiasi Sawit (hulu dan Hilir) anggota tetap DMSI (Dewan Minyak Sawit Indonesia (APOLIN, APROBI, GIMNI, APKASINDO, GPPI, MAKSI, ASPEK PIR dan SAMADE) untuk memberikan tanggapan atas kinerja industri sawit 2022.
Mewakili Asosiasi Petani sawit, Ketua Umum DPP APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) Gulat M E Manurung, diberi kesempatan menanggapi kondisi industri sawit 2022.
Kalimat yang tersusun dibenak saya “Antitesis nya penurunan produksi dengan semakin meningkatnya konsumsi baik dalam negeri maupun luar negeri dan semakin naiknya harga CPO global, tidak sepadan dengan harga TBS yang diterima petani ?”. Fakta ini didukung oleh pernyataan Ketua Umum GAPKI yang mengatakan “secara kuantitas, ekspor minyak sawit memang menurun, tapi secara nilai (harga) terjadi peningkatan yang cukup lumayan. Hal ini disebabkan terjadinya kenaikan harga produk sawit sepanjang 2021 dibandingkan tahun 2021”.
Cermin tentang kinerja industri sawit (hulu-hilir) Indonesia saya bagi dua, pertama faktor pemicu eksternal dan kedua factor pemicu internal.
Faktor pemicu eksternal yaitu dari negara pembutuh minyak sawit seperti aturan dari Uni Eropa (UE) mengenai aturan ketelusuran. Tapi menurut catatan PASPI ( Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute) bahwa negara-negara UE sejak tahun 2000 semakin meningkat konsumsi minyak sawit yang secara berangsur menggantikan peran besar rapeseed dan semakin signifikan sejak tahun 2010 (catt : UE merupakan negara produsen minyak nabati dari rapeseed).
Pemicu kedua (internal) yaitu regulasi dalam negeri, seperti aturan moratorium, aturan PSR, aturan penetapan harga TBS, implementasi UUCK, selanjutnya pengetatan ekspor oleh Kementerian Perdagangan, realisasi PSR dan keberhasilan teknologi biofuel, disaat yang bersamaan terjadi penurunan produksi CPO Indonesia dan penurunan ini semakin besar di 2023 sebagai dampak aktivitas agronomis terkhusus petani sawit yang menurun sepanjang 2022.
Hal ini selaras dengan laporan GAPKI pada acara pers conference tersebut yang disampaikan langsung oleh Ketua Umum GAPKI, Joko Supriyono. Kalimat yang ditunggu-tunggu pun disampaikan oleh Pak Joko “capaian produksi CPO Indonesia sepanjang 2022 menurun menjadi 46,729 juta ton, dimana tahun 2021 lalu sebesar 46,888 juta ton. Dan penurunan ini merupakan tahun ke-4 berturut-turut”. Hal ini menjadi renungan utama saya dan hari ini saya tuangkan dalam tulisan ini.
Dari segi kinerja ekspor, Pak Joko menjelaskan “bahwa Ekspor 2022 sebesar 30,803 juta ton lebih rendah dari tahun 2021 sebesar 33,674 juta ton, dan merupakan tahun ke-4 berturut-turut dimana ekspor turun dari tahun ke tahun. Namun secara nilai ekspor tahun 2022 terjadi peningkatan menjadi US$ 39,28 miliar (CPO, olahan dan turunannya) atau jika saya kalikan menjadi Rp587 Triliun (kurs Rp14.942/US$), Nilai ekspor ini lebih tinggi dari tahun 2021 (US$ 35,5 miliar). Ini terjadi karena memang harga produk sawit tahun 2022 relatif lebih tinggi dari harga tahun 2021”.
Pertanyaannya selanjutnya yang susah saya carikan jawabannya adalah mengapa kinerja ekspor minyak sawit masih tergolong normal (tidak berkurang), padahal sejak awal 2020 Indonesia sudah meningkatkan serapan domestik CPO melalui Mandatory B30 yang menyerap paling tidak 9 juta KL produksi CPO Indonesia ?.
Moratorium dan terbitnya UUCK yang praktis tidak ada lagi izin baru yang terbit untuk korporasi sawit secara hitungan matematika dipastikan produksi CPO stagnan dan hal ini terbukti sejak 2019-2022. Pada kondisi ini seharusnya adalah harga minyak sawit akan terdampak naik karena kebutuhan bertambah, apalagi dengan keberhasilan Indonesia di teknologi biofull B30 yang menyerap CPO sampai 15,65% dari total produksi CPO 2021 dan meningkat menjadi 18,92% ditahun 2022 “tentu di 2023 Februari ini serapan CPO dengan mandatory B35 akan naik secara signifikan”. Jika menurut data BPDPKS, bahwa tahun 2023 akan membeli FAME (fatty acid methyl ester) atau yang biasa kita sebut biodiesel sebanyak 13,15 juta KL. Tentu hal ini akan menyerap paling tidak 28% dari total produksi CPO Indonesia (Jika pembandingnya produksi CPO 2022).
Akankah pengaruh serapan CPO atas program B35 tahun 2023 ini akan berdampak biasa-biasa saja terhadap harga TBS petani ?.
Jika kita lihat sebelum larangan ekspor (April 2022), bahwa harga CPO sempat mencapai US$ 2.010/Metrik Ton CPO dan langsung terjun bebas pasca larangan eskpor dan tidak segera pulih pasca larangan tersebut dicabut. Dan saat ini harga CPO global hanya berada dikisaran US$ 900-1.022. Dan harga CPO Domestik pada awal tahun ini hanya berkisar Rp11.250-Rp11.800/kg. Kami mencatat “disaat produksi cenderung menurun, permintaan secara global stabil, dan nilai (harga) CPO global naik, tapi harga minyak sawit domestic malah anjlok pasca April 2022”. Yang paling aneh lagi semua produk berbahan baku minyak sawit malah beranjak naik dari tahun 2021-2022.
Kembali saya bertanya, mengapa harga bahan baku (TBS kami petani) tidak kunjung naik ?
Naik-turunnya harga CPO sangat berdampak ke petani sawit dimana ukuran harga TBS adalah harga CPO. Jika melihat HPP per kg TBS periode Juni-Desember 2022 yang sudah mencapai Rp2.250 tapi rerata harga TBS penetapan Dinas Perkebunan pada periode tersebut hanya rerata Rp1.850-2.600/kg TBS. Harga ini semakin anjlok untuk kelompok petani swadaya yang hanya rerata Rp1.400-2.250/kg TBS pada enam bulan terakhir.